Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi kuartal I tahun ini hanya 4,7 persen, dari 5 persen pada kuartal keempat tahun lalu. Catatan itu di bawah ekspektasi dan terendah sejak krisis finansial global 2009. Perlambatan merefleksikan lambatnya realisasi belanja pemerintah dan penurunan produksi tambang. Adapun pengeluaran rumah tangga dan investasi relatif tidak berubah dari kuartal sebelumnya.
Dalam catatan yang dirilis fitchratings.com, Kamis (7/5), Fitch menyatakan bahwa data pertumbuhan itu menggarisbawahi tantangan yang dihadapi pemerintah dalam merealisasikan janji membangun infrastruktur, di pihak lain menghadapi berlanjutnya penurunan harga komoditas. Ditambahkan, pertumbuhan ekonomi tetap berakselerasi dalam jangka menengah, namun titik balik pertumbuhan yang dipacu belanja modal pemerintah diyakini lebih lambat yang diperkirakan dan baru dimulai pada paruh kedua tahun ini.
Diingatkan, stabilitas ekonomi makro jauh lebih penting ketimbang pertumbuhan ekonomi, demi menjaga rating investment grade (BBB-) yang digenggam Indonesia. Apalagi, pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen secara substansial masih lebih baik dibandingkan negara emerging market setara yang rata-rata hanya 2,9 persen.
Picu Kerumitan
Menurut Fitch, kebijakan moneter relatif ketat selama ini telah membantu Indonesia mengurangi risiko makroekonomi sejak investor digoyang isu penghentian stimulus moneter (tapering-off) bank sentral Amerika Serikat, yang mempengaruhi pasar keuangan Indonesia 2013.
Memang, pada Februari lalu Bank Indonesia secara mengejutkan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 7,5 persen, namun jika kebijakan pelonggaran ini dilanjutkan, Fitch menilai akan memicu kerumitan mengingat tingkat inflasi yang masih tinggi. Sebagamana diketahui, inflasi tahunan pada April tercatat 6,8 persen, jauh di atas target resmi pemerintah sebesar 3-5 persen.
Lebih lanjut, urai catatan Fitch, kemampuan Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga juga dibatasi oleh risiko terkait stabilitas eksternal, yakni di saat pasar tengah dirundung kekhawatiran kenaikan suku bunga oleh The Federal Reserve dalam tahun ini.
Rupiah selama ini terus di bawah tekanan setelah pemangkasan suku bunga Februari lalu, yang menyebabkan BI harus meningkatkan intervensi sehingga mengurangi cadangan devisa. Indonesia dinilai lebih rentan terhadap destabilisasi akun eksternal dibandingkan rekan-rekan regional seperti India dan Filipina, terutama karena defisit ini belum menyempit secara signifikan dan tetap di level 3% dari PDB.
Ada sejumlah ruang yang tersisa bagi Indonesia untuk meningkatkan belanja fiskal untuk infrastruktur, namun tetap dalam kisaran defisit 3% dari PDB sesuai aturan fiskal, tapi itu akan terbatas karena harga komoditas yang rendah mengurangi pendapatan pemerintah.
Dengan aturan pembatasan defisit fiskal 3% dari PDB telah berkontribusi menekan beban utang pemerintah yang memang lebih rendah dibandingkan dengan negara emerging setara. Melonggarkan kebijakan fiskal, sementara di lain pihak tetap taat kepada aturan fiskal, tidak akan memiliki dampak negatif pada profil rating Indonesia. Pada saat yang sama, pertanyaan lebih tertuju pada kapasitas pemerintah dan kemampuan untuk menghabiskan belanja modal yang sudah direncanakan, apalagi di atas target saat ini.
saham . bursajkse
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.