Pertumbuhan Kredit Tahun Ini Maksimal Hanya 14%
Bank Indonesia (BI) mengungkapkan pertumbuhan kredit hingga akhir tahun ini diperkirakan maksimal hanya di angka 14 persen, walaupun sudah ada pelonggaran rasio nilai kredit (LTV/loan to value) yang akan berlaku pada 1 Juli 2015.
Hal tersebut diungkapkan Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo, saat menghadiri Rapat Panja Asumsi Dasar Kebijakan Fiskal, Pendapatan, Defisit dan Pembiayaan Pemerintah Tahun 2016 dengan Badan Anggaran DPR, di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (23/6). Ia mengatakan, kebijakan pelonggaran LTV sudah bisa dipastikan berlaku awal bulan depan dan tidak ada peubahan keputusan yang telah dibuat. Sekarang ini, kata dia, tinggal dalam proses legalisasi.
Menurut Perry, kebijakan LTV tersebut diharapkan akan mendorong permintaan kredit. Namun tetap saja masih cukup sulit untuk bisa memenuhi target pertumbuhan kredit hingga 15% tahun ini dengan kebijakan tersebut. Karena, alasan Perry, pertumbuhan kredit berkaitan dengan permintaan. Meski suplai perbankan atau likuiditasnya serta makroprudensial telah dikendorkan, namun yang jadi masalah adalah dari sisi permintaan.
"Demand dari kredit itu masih lemah. Karena apa? Itu berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi masih lemah, karena ekspornya turun dan penyerapan dari belanja (pemerintah) tertunda. Jadi karena realisasi pertumbuhan kredit sampai April itu relatif rendah, sekitar 10 persen, maka untuk mencapai target 15 persen itu berat," kata Perry.
Lebih lanjut Perry menyatakan, meski demikian pada kuartal ketiga dan keempat diharapkan penyerapan belanja pemerintah baik barang maupun modal bisa meningkat, walaupun ekspornya masih agak berat. Sehingga bisa mendorong permintaan baik dari sisi ekonomi maupun kredit.
"Mungkin pertumbuhan kredit tahun ini sedikit di bawah 15 persen. Dengan di kuartal tiga dan empat nanti diharapkan akan mendorong growth (ekonomi), dorong kredit yang sekarang sekitar 10-11 persen, mungkin akhir tahun bisa sekitar 13-14 persen," jelasnya.
Hal tersebut diungkapkan Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo, saat menghadiri Rapat Panja Asumsi Dasar Kebijakan Fiskal, Pendapatan, Defisit dan Pembiayaan Pemerintah Tahun 2016 dengan Badan Anggaran DPR, di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (23/6). Ia mengatakan, kebijakan pelonggaran LTV sudah bisa dipastikan berlaku awal bulan depan dan tidak ada peubahan keputusan yang telah dibuat. Sekarang ini, kata dia, tinggal dalam proses legalisasi.
Menurut Perry, kebijakan LTV tersebut diharapkan akan mendorong permintaan kredit. Namun tetap saja masih cukup sulit untuk bisa memenuhi target pertumbuhan kredit hingga 15% tahun ini dengan kebijakan tersebut. Karena, alasan Perry, pertumbuhan kredit berkaitan dengan permintaan. Meski suplai perbankan atau likuiditasnya serta makroprudensial telah dikendorkan, namun yang jadi masalah adalah dari sisi permintaan.
"Demand dari kredit itu masih lemah. Karena apa? Itu berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi masih lemah, karena ekspornya turun dan penyerapan dari belanja (pemerintah) tertunda. Jadi karena realisasi pertumbuhan kredit sampai April itu relatif rendah, sekitar 10 persen, maka untuk mencapai target 15 persen itu berat," kata Perry.
Lebih lanjut Perry menyatakan, meski demikian pada kuartal ketiga dan keempat diharapkan penyerapan belanja pemerintah baik barang maupun modal bisa meningkat, walaupun ekspornya masih agak berat. Sehingga bisa mendorong permintaan baik dari sisi ekonomi maupun kredit.
"Mungkin pertumbuhan kredit tahun ini sedikit di bawah 15 persen. Dengan di kuartal tiga dan empat nanti diharapkan akan mendorong growth (ekonomi), dorong kredit yang sekarang sekitar 10-11 persen, mungkin akhir tahun bisa sekitar 13-14 persen," jelasnya.
BI Optimistis Nilai Rupiah Akan Membaik Di Kuartal Ketiga
Bank Indonesia (BI) meyakini nilai tukar rupiah akan membaik di kuartal ketiga tahun ini seiring berkurangnya tekanan tekanan berkat dukungan sentimen positif dari sejumlah faktor domestik.
Optimisme itu disuarakan Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo, saat menghadiri Rapat Panja Asumsi Dasar Kebijakan Fiskal, Pendapatan, Defisit dan Pembiayaan Pemerintah Tahun 2016 dengan Badan Anggaran DPR, di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (23/6). Diakui Perry, di kuartal kedua tahun ini kondisi lebih banyak negatif ketimbang positif, baik dari sisi global maupun domestik sehingga tekanan terhadap nilai tukar rupiah juga lebih berat.
Dari faktor eksternal, paparnya, tekanan pada rupiah saat ini karena ketidakpastian kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve. Sementara itu, dari faktor domestik kebutuhan dolar AS masih cukup tinggi terutama terkait pembayaran utang luar negeri.
"Tapi di semester kedua tahun ini diharapkan faktor domestik lebih positif karena ada penyerapan anggaran yang memang lebih cepat, sehingga itu bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih baik. Lalu defisit neraca transaksi berjalan juga diharapkan jauh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya," kata Perry.
Lebih lanjut Perry menyatakan, untuk faktor eksternal memang ketidakpastian masih cukup tinggi karena seperti sampai sekarang prediksi kenaikan suku bunga The Fed di bulan September, namun ada juga yang menyebutkan akan dilakukan di Januari tahun depan. Sehingga faktor ketidakpastian ini membawa tekanan pada nilai tukar rupiah.
"Tapi sentimen positif dalam negeri itu ada dan di triwulan ketiga biasanya faktor domestik lebih baik. Saya harapkan di triwulan ketiga itu perkiraan kami pergerakan nilai tukar rupiah akan lebih baik. Meskipun faktor globalnya masih terus negatif. Tapi faktor domestiknya, sentimen positifnya semakin banyak, itu membawa perbaikan di nilai tukar rupiah," jelasnya.
Kurs tengah BI mencatat nilai tukar rupiah hari ini berada di level Rp13.316 per dolar AS atau sedikit menguat dari posisi kemarin (22/6) yang berada di Rp13.318. Namun masih terdepresiasi cukup dalam jika dibandingkan awal bulan ini (4/6) yang masih di angka Rp13.243 per dolar.
Optimisme itu disuarakan Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo, saat menghadiri Rapat Panja Asumsi Dasar Kebijakan Fiskal, Pendapatan, Defisit dan Pembiayaan Pemerintah Tahun 2016 dengan Badan Anggaran DPR, di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (23/6). Diakui Perry, di kuartal kedua tahun ini kondisi lebih banyak negatif ketimbang positif, baik dari sisi global maupun domestik sehingga tekanan terhadap nilai tukar rupiah juga lebih berat.
Dari faktor eksternal, paparnya, tekanan pada rupiah saat ini karena ketidakpastian kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve. Sementara itu, dari faktor domestik kebutuhan dolar AS masih cukup tinggi terutama terkait pembayaran utang luar negeri.
"Tapi di semester kedua tahun ini diharapkan faktor domestik lebih positif karena ada penyerapan anggaran yang memang lebih cepat, sehingga itu bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih baik. Lalu defisit neraca transaksi berjalan juga diharapkan jauh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya," kata Perry.
Lebih lanjut Perry menyatakan, untuk faktor eksternal memang ketidakpastian masih cukup tinggi karena seperti sampai sekarang prediksi kenaikan suku bunga The Fed di bulan September, namun ada juga yang menyebutkan akan dilakukan di Januari tahun depan. Sehingga faktor ketidakpastian ini membawa tekanan pada nilai tukar rupiah.
"Tapi sentimen positif dalam negeri itu ada dan di triwulan ketiga biasanya faktor domestik lebih baik. Saya harapkan di triwulan ketiga itu perkiraan kami pergerakan nilai tukar rupiah akan lebih baik. Meskipun faktor globalnya masih terus negatif. Tapi faktor domestiknya, sentimen positifnya semakin banyak, itu membawa perbaikan di nilai tukar rupiah," jelasnya.
Kurs tengah BI mencatat nilai tukar rupiah hari ini berada di level Rp13.316 per dolar AS atau sedikit menguat dari posisi kemarin (22/6) yang berada di Rp13.318. Namun masih terdepresiasi cukup dalam jika dibandingkan awal bulan ini (4/6) yang masih di angka Rp13.243 per dolar.
saham . bursajkse
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.