Chief Economist & Strategic Investment Indonesia Green Investment Collectives (IGIco) Advisory, Martin Panggabean, di Jakarta, kemarin, mengatakan saat ini nilai tukar rupiah cukup kompetitif, sehingga pemerintah harus segera menggenjot ekspor ke berbagai negara strategis, yang perekonomiannya mulai pulih dan tumbuh signifikan.
Selain itu, tutur Martin, pemerintah juga harus menetapkan skala prioritas industri di tengah tren perang kurs di antara negara-negara yang memiliki kekuatan ekspor relatif sama.
"Pemerintah harus menentukan driver sector industry dan komoditas untuk menggenjot ekspor di tengah perang kurs dan competitive devaluation negara-negara tetangga agar terhindar dari resesi ekonomi, sehingga tidak mengganggu kondisi sosial masyarakat," ucap Martin.
Dia menjelaskan, pelemahan rupiah didorong oleh defisit neraca transaksi berjalan dan fiskal (twin deficit), ditambah lagi competitive devaluation (berlomba-lomba memperlemah mata uangnya) negara-negara tetangga. Banyak negara sengaja memperlemah mata uangnya sekitar lima hingga 15 persen, bahkan Jepang melemah sampai 25 persen.
"Sedangkan Indonesia hanya mengalami pelemahan riil sepuluh persen, jika tidak terjadi devaluasi, sulit menggerakkan ekspor kita, terutama CPO dan kakao, karena Malaysia melakukan devaluasi juga sebesar persen. Kementerian Pertanian seharusnya bisa memanfaatkan kondisi ini," ujarnya.
Sementara itu, untuk jangka pendek, pelemahan rupiah dan tingginya inflasi akan semakin memperlemah sektor riil. Dalam jangka menengah ada harapan dari ekspor, tetapi upaya ini harus benar-benar disiapkan oleh kementerian terkait yakni Kementan, Kemendag, KemenKKP, dan KemenESDM.
"Sedangkan Kementerian Perindustrian itu harus segera menetapkan skala prioritas industri yang responsif mendorong kinerja ekspor dalam jangka pendek dan menengah. Beberapa negara seperti Amerika, India, dan Jepang yang perekonomiannya sedang membaik, serta tumbuh, bisa dijadikan target tujuan peningkatan ekspor," ungkap Martin.
Lebih lanjut Martin menyatakan, pemulihan ekonomi global saat ini memang tidak sinkron, di mana AS, Jepang, dan India sedang menjadi motor penggeraknya.
Sedangkan perekonomian di negara-negara Uni Eropa cenderung sluggish dan China justru melambat. Namun untuk meningkatkan ekspor, perlu disiapkan khususnya ke negara-negara tersebut.
"Dengan Jepang misalnya, IJEPA perlu di-review kembali. Di sisi lain, perbankan perlu mewaspadai debitur yang terkonsentrasi melakukan ekspor ke China dan Eropa. China itu secara historis banyak minta batubara dan hasil tambang mineral, tetapi saat ini harganya juga sedang tidak bagus bagi para eksportir, karena ekonomi China sedang melambat," tutur dia.
Martin menuturkan, upaya secara totalitas untuk mendongkrak ekspor harus dilakukan Indonesia. Mengingat kondisi global saat ini, termasuk rencana Federal Reserve menaikkan suku bunga, akan semakin menekan rupiah, pasar saham, dan capital outflow yang sangat besar.
"Sebab berbagai indikator sektor riil dan moneter saat ini menunjukkan ekonomi Indonesia sudah mengarah ke resesi. Perlambatan ini sudah teridentifikasi sejak empat kuartal lalu," jelas Martin.
"Diperlukan berbagai langkah antisipatif yang tidak hanya mengandalkan melulu fiskal dan moneter, tetapi juga kementerian terkait yang mengurusi sektor riil. Kalaupun resesi tidak bisa terhindar, namun harus diusahakan sesingkat mungkin."
saham . bursajkse
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.