
PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) kembali mendapat peringkat "D". Lembaga pemeringkat Standard & Poor's menegaskan peringkat jangka panjang "D" pada kredit korporasi PT Bakrie Telecom Tbk.
Pada saat yang sama Standard & Poor's juga menegaskan peringkat jangka panjang "D" padaguaranted notes yang diterbitkan oleh anak usaha BTEL, Bakrie Telcom Pte Ltd. Namun, S&P kemudian menarik peringkat tersebut atas permintaan penerbit surat utang.
Pada saat penarikan, rating "D" mencerminkan kondisi BTEL yang gagal membayar bunga dan pokok surat utang senior berjaminan senilai US$ 380 juta pada 7 Mei 2015. "Ketidakpastian yang siginifikan terus terjadi pada rencana restrukturisasi perseroan," ungkap analis S&P, Yuehao Wu, CFA dalam rilisnya, Kamis (4/6).
BTEL memang telah mengalami kesulitas dalam membayar utang-utangnya. Oleh karean itu, beberapa waktu lalu perseroan mengajukan Pemohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. BTEL dan para kreditur mencapai perdamaian (homologasi) dalam proses PKPU tersebut.
Dalam PKPU, BTEL memiliki total tagihan utang senilai Rp 11,3 triliun. Utang tersebut dikelompokkan menjadi utang biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi dan universal service obligation (USO) senilai Rp 1,26 triliun, utang usaha Rp 2,4 triliun, utang tower provider Rp 1,3 triliun, dan utang dana hasil wesel senior Rp 5,4 triliun. Kemudian, BTEL juga memiliki utang afilisasi senilai Rp 73,7 miliar, utang akibat derivatif Rp 185,3 miliar, utang dengan jaminan Rp 625,4 miliar, serta pembiayaan kendaraan Rp 2,6 miliar.
BTEL akan mulai melalukan pembayaran utang 18 bulan setelah pengesahan homologasi. Kemudian, sebanyak 70% dari total utang akan dibayar dengan Mandatory Convertible Bond- A (MCB-A) yang nantinya bisa dikonversikan menjadi saham baru BTEL pada harga Rp 200 per saham.
Pada saat yang sama Standard & Poor's juga menegaskan peringkat jangka panjang "D" padaguaranted notes yang diterbitkan oleh anak usaha BTEL, Bakrie Telcom Pte Ltd. Namun, S&P kemudian menarik peringkat tersebut atas permintaan penerbit surat utang.
Pada saat penarikan, rating "D" mencerminkan kondisi BTEL yang gagal membayar bunga dan pokok surat utang senior berjaminan senilai US$ 380 juta pada 7 Mei 2015. "Ketidakpastian yang siginifikan terus terjadi pada rencana restrukturisasi perseroan," ungkap analis S&P, Yuehao Wu, CFA dalam rilisnya, Kamis (4/6).
BTEL memang telah mengalami kesulitas dalam membayar utang-utangnya. Oleh karean itu, beberapa waktu lalu perseroan mengajukan Pemohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. BTEL dan para kreditur mencapai perdamaian (homologasi) dalam proses PKPU tersebut.
Dalam PKPU, BTEL memiliki total tagihan utang senilai Rp 11,3 triliun. Utang tersebut dikelompokkan menjadi utang biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi dan universal service obligation (USO) senilai Rp 1,26 triliun, utang usaha Rp 2,4 triliun, utang tower provider Rp 1,3 triliun, dan utang dana hasil wesel senior Rp 5,4 triliun. Kemudian, BTEL juga memiliki utang afilisasi senilai Rp 73,7 miliar, utang akibat derivatif Rp 185,3 miliar, utang dengan jaminan Rp 625,4 miliar, serta pembiayaan kendaraan Rp 2,6 miliar.
BTEL akan mulai melalukan pembayaran utang 18 bulan setelah pengesahan homologasi. Kemudian, sebanyak 70% dari total utang akan dibayar dengan Mandatory Convertible Bond- A (MCB-A) yang nantinya bisa dikonversikan menjadi saham baru BTEL pada harga Rp 200 per saham.
Catatan:
PT Bakrie Telecom Tbk (dahulu PT Radio Telepon Indonesia) (BTEL) didirikan 13 Agustus 1993 dan mulai melakukan kegiatan komersialnya pada 01 Nopember 1995. Kantor pusat BTEL berlokasi di Wisma Bakrie, Lantai 3, Jl. H.R. Rasuna Said Kav. B-1, Jakarta Selatan.
PT Bakrie Telecom Tbk (IDX:BTEL ) adalah perusahaan operator telekomunikasi berbasisCDMA di Indonesia. Bakrie Telecom memiliki produk layanan dengan nama produk Esia, Wifone,Wimode, dan BConnect.
BTEL tergabung dalam kelompok usaha Bakrie. Pemegang saham yang memiliki 5% atau lebih saham BTEL adalah PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) (16,35%), PT Bakrie Global Ventura (6,87%) dan Raiffeisen Bank International s/a Best Quality Global Limited (7,24%).
Perusahaan ini sebelumnya dikenal dengan nama PT Radio Telepon Indonesia (Ratelindo), yang didirikan pada bulan Agustus 1993, sebagai anak perusahaan PT Bakrie & Brothers Tbk yang bergerak dalam bidang telekomunikasi di DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat berbasisExtended Time Division Multiple Access (ETDMA). Pada bulan September 2003, PT Ratelindo berubah nama menjadi PT Bakrie Telecom, yang kemudian bermigrasi ke CDMA 1x, dan memulai meluncurkan produk Esia. Pada awalnya jaringan Esia hanya dapat dinikmati di Jakarta, Banten dan Jawa Barat, namun sampai akhir 2007 telah menjangkau 26 kota di seluruh Indonesia dan terus berkembang ke kota-kota lainnya.
Pada tahun 2006, Bakrie Telecom telah go-public dengan mendaftarkan sahamnya dalam Bursa Efek Jakarta.
Berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan BTEL meliputi; merencanakan, membangun dan menyewakan sarana/fasilitas telekomunikasi, melaksanakan kegiatan pemasaran dan penjualan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi, melakukan pemeliharaan, penelitian dan pengembangan sarana/fasilitas telekomunikasi, serta memperdagangkan perangkat/produk telekomunikasi.
Pada tahun 2006, BTEL memperoleh pernyataan efektif dari BAPEPAM-LK untuk melakukan Penawaran Umum Perdana Saham BTEL (IPO) kepada masyarakat sebanyak 5.500.000.000 dengan nilai nominal Rp100,- per saham dengan harga penawaran Rp110,- per saham dan disertai 1.100.000.000 Waran seri I dan periode pelaksanaan mulai dari 03 Agustus 2006 sampai dengan 02 Februari 2009 dengan harga pelaksanaan sebesar Rp135,- per saham. Saham dan Waran Seri I tersebut dicatatkan pada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 03 Februari 2006.
Layanan sambungan internasional[sunting | sunting sumber]
Pada 17 September 2007, pemerintah Indonesia memberikan lisensi atas jaringan tetap sambungan langsung internasional Indonesia kepada Bakrie Telecom. Sebagai bagian dari lisensi ini, Bakrie Telecom diharuskan membangun jaringan tetap untuk sambungan langsung internasional. Pada 5-tahun pertama, Bakrie Telecom diharuskan membangun jaringan yang menghubungkan Batam, Singapura, dan Amerika Serikat. Jika target ini tidak terpenuhi, pemerintah akan mendenda Bakrie Telecom. Dirjen Pos dan Telekomunikasi Basuki Yusuf Iskandarmemperkirakan Bakrie akan dapat mengkomersialisasi layanan ini dalam tiga tahun ke depan.[1]
Akuisisi PT Bakrie Telecom terhadap PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia[sunting | sunting sumber]
PT Bakrie Telecom Tbk dan PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia mengumumkan penandatanganan penjualan bersyarat atas perjanjian jual beli yang telah berlangsung Selasa 13 Maret 2012. Perjanjian tersebut melibatkan Bakrie Telecom serta Sampoerna Strategic dan Polaris, yang bertindak sebagai pemegang saham Sampoerna Telekomunikasi Indonesia.
Dari perjanjian tersebut, Bakrie Telecom memperoleh 35 persen saham Sampoerna Telekomunikasi Indonesia, dan dalam tiga tahun ke depan akan menjadi pemegang saham mayoritas. Sebagai imbalannya, Sampoerna Strategic akan menjadi pemegang saham Bakrie Telecom. [2]
Lihat pula[sunting | sunting sumber]
Bakrie Connectivity
CDMA
Daftar produk telekomunikasi seluler Indonesia
Esia
Wifone
Wimode
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.