Selasa, 09 Juni 2015

Obligasi Indonesia: Termasuk Paling Berisiko Di Asia, Ancaman Capital Outflow Membayang

Image result for indonesia government bond risk

Biaya untuk menjamin obligasi pemerintah Indonesia terhadap risiko default  meningkat ke level tertinggi lima bulan, seiring berlanjutnya depresiasi rupiah dan percepatan inflasi sehingga meningkatkan risiko arus modal keluar (capital outflow). 

Credit default-swap lima tahun untuk obligasi Indonesia naik 19 basis poin menjadi 180 dalam dua pekan pada Senin (8/6) kemarin, tertinggi di Asia dan sama dengan yang dialami Malaysia.

Terkait hal itu, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo kemarin menyatakan bahwa Bank Indonesia terus memperhatikan saat yang tepat untuk membeli obligasi pemerintah ketika imbal hasil - yang sudah berada di level tertinggi 15 bulan - meningkat sejalan dengan persiapan pasar mengantisipasi bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, menaikkan suku bunga pinjaman.

Inflasi tahun ini akan tetap berada di atas 7 persen hingga September, menurut perkiraan Bank Indonesia, dan pola cuaca El Nino yang membawa cuaca kering ke Asia mengancam hasil panen dan mendorong inflasi lebih lanjut. Di sisi lain, penurunan rupiah ke level terendah 17-tahun makin membatasi ruang gerak Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan, yang mengakibatkan empat dari lima lelang utang obligasi terakhir gagal memenuhi target.

"Kekhawatirannya, semua faktor tersebut akan menyebabkan investor menuntut imbal hasil lebih tinggi dan menyesuaikan kembali posisi mereka," kata Ikhwani Fauzana, head of rate trading di PT Bank Negara Indonesia Tbk di Jakarta, seperti dilansir Bloomberg, Selasa (9/6). "Tapi terlalu berisiko bagi bank sentral untuk menurunkan suku bunga untuk membantu mendorong pertumbuhan sementara respons rupiah akan drastis, sehingga mereka (Bank Indonesia) terjebak di posisi yang sulit."

Break-Even Point

Nilai tukar rupiah memimpin penurunan mata uang di Asia, dengan penurunan hingga 7,3 persen sepanjang tahun ini menjadi Rp13.363 per dolar pada perdagangan pagi di Jakarta. Pada Senin kemarin, bahkan rupiah sempat mencapai Rp13.385 per dolar, terlemah sejak Agustus 1998. Jika jatuh melewati Rp13.400 per dolar, investor asing memompa Rp46 triliun rupiah (USD3,4 miliar) ke dalam obligasi Indonesia sepanjang Januari dan Februari, akan mulai menderita kerugian, demikian menurut PT Mandiri Sekuritas.

Imbal hasil obligasi Indonesia bertenor 10 tahun melompat 23 basis poin menjadi 8,76 persen pada Senin kemarin, setelah data payroll Amerika Serikat melampaui perkiraan dan Mohammed El-Erian - Chief Economic Adviser di Allianz SE - menyatakan dengan penyerapan tenaga kerja yang baik di Amerika Serikat itu berarti The Fed "tampaknya akan menaikkan suku bunga pada tahun ini".

Terkait kebijakan suku bunga di AS tersebut, Agus Martowardojo kemarin mengakui adanya risiko perang mata uang dalam tiga tahun ke depan jika The Fed melakukan normalisasi tingkat suku bunga secara bertahap. Bank Indonesia, jamin Mrtowardojo, akan terus berada di pasar untuk menjaga volatilitas rupiah.

Bank Indonesia juga merilis perkiraan bahwa pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua tahun ini sebesar 4,9 persen, naik tipis dibandingkan kuartal lalu yang sebesar 4,71 persen, terendah setidaknya sejak 2009. Belanja pemerintah dituding sebagai alasan utama perlambatan di kuartal pertama, dengan tingkat belanja hanya 31 persen dari ditargetkan tahun ini hingga akhir Mei.

Supply Concern

Dalam tahun ini, pemerintah Indonesia telah menjual obligasi Rp173,09 triliun, 49 persen dari target 2015, menurut data Kementerian Keuangan. Rencana Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan penerimaan pajak sebesar 30 persen pada tahun 2015 makin sulit dicapai, sehingga ada kemungkinan peningkatan jumlah penjualan obligasi, kata Berguna Yunianto, yang mengelola penjualan fixed-income di Mandiri Sekuritas. "Investor masih melihat tekanan pasokan besar ke depan, terutama dengan risiko fiskal yang ditimbulkan oleh perlambatan pertumbuhan," katanya.

Yunianto melihat imbal hasil 8,1 persen untuk obligasi bertenor 10 tahun cukup fair hingga akhir tahun ini, dengan asumsi Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan di level saat ini, 7,5 persen. Meski, ungkap dia, ada kemungkinan gejolak pada pertengahan tahun ini.

Sedangkan inflasi akan berakselerasi ke 7,15 persen pada Mei dan Bank Indonesia memperkirakan akan menurun pada kuartal keempat dan mantap di 4,2 persen pada akhir tahun.

El Nino

Prediksi tersebut masih tergantung pada kekuatan dampak cuaca El Nino pada tahun ini. Indonesia, bersama dengan India, menjadi negara di Asia dengan dampak sangat negatif dari pola cuaca ini, sebab 18 persen dari PDB didorong oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Demikian catatan dari analis Bank of America Merrill Lynch yang dipimpin oleh Hak Bin pekan lalu.

Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan, dana asing masih mengalir ke obligasi rupiah, sehingga meningkatkan kepemilikan Rp6,43 triliun dalam satu bulan terakhir, seiring imbal hasil yang terus meningkat. Investor asing sekarang memiliki 38,5 persen dari utang, rasio tertinggi di Asia Tenggara, sehingga membuat Indonesia rentan terhadap arus keluar.

Namun, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia masih melihat potensi di obligasi Indonesia, kata  Head Fixed-income, Ezra Nazula, yang mengelola lebih dari USD2 miliar. "Kami melihat peluang di volatilitas, terutama dengan ekspektasi inflasi yang lebih rendah di semester kedua," kata dia. "Bahkan jika investor melihat rupiah melemah melewati titik impas mereka, mereka tidak akan menjual secara refleks jika mereka masih berpikir kondisi akan membaik ke depan."

Adapun Rabobank International merekomendasikan investor untuk tetap "on the sidelines" terkait obligasi Indonesia, menurut Michael Every, head of financial markets research di Hong Kong. "Kami tak melihat adanya tekanan besar untuk memajukan investasi infrastruktur. Tampaknya tak ada banyak nilai di obligasi Indonesia," papar Every





saham . bursajkse

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.