Tanaman kelapa sawit menghasilkan dua sumber utama minyak nabati: minyak sawit mentah (CPO),
yang diperoleh dari bagian luar mesokarp buah kelapa sawit dan minyak inti sawit mentah (CPKO),
yang diperoleh dengan melumatkan inti sawit (PK) dari inti buah.
Tanaman kelapa sawit menghasilkan tandan buah segar (TBS) yang dipanen dengan tangan pada
saat buah dalam tandan matang. Tandan buah segar tersebut kemudian diangkut ke pabrik kelapa
sawit. Di perkebunan besar, pabrik kelapa sawit pada umumnya dimiliki oleh pemilik perkebunan.
PKS yang mengolah TBS dari perkebunan kecil umumnya dimiliki oleh perusahaan independen atau
pemilik perkebunan besar. PKS memproduksi CPO, PK dan serat. Serat tersebut dibakar di ketel untuk memasok daya bagi PKS, dan surplus serat umumnya tersedia dan ditaburkan di lahan perkebunan sebagai pupuk organik.
PK dilumatkan di pabrik pelumatan inti sawit, dan menghasilkan CPKO dan tepung sawit (PKM), yang merupakan sumber protein pakan hewan. Rasio minyak terhadap tepung berdasarkan berat adalah 45:55.
Baik CPO maupun CPKO jarang dikonsumsi sebagai produk akhir, tetapi umumnya disuling
di penyulingan, kemudian minyak yang telah mengalami proses penyulingan, penjernihan dan
pengawabaun (RBD) umumnya difraksinasi menjadi fraksi cair (olein) dan fraksi padat (stearin).
Produk-produk minyak sawit RBD bersaing dengan minyak nabati olahan lainnya dalam penggunaan
pangan maupun non-pangan. Sebagian besar minyak nabati olahan lainnya diproduksi setelah
memperoleh minyak nabati dan tepung protein yang dihasilkan dari pelumatan tanaman benih minyak tahunan, terutama kedelai, biji sesawi dan bunga matahari. Kegunaan akhir PKO terutama bersaing dengan minyak kelapa, yang memiliki profil asam lemak yang sangat mendekati PKO.
Porsi CPO dalam pasokan minyak nabati mentah dunia meningkat dengan stabil dalam 50 tahun
terakhir, diikuti secara paralel oleh CPKO. Kondisi ini mencerminkan tingginya daya saing kelapa sawit, baik dari sisi minyak yang dihasilkan per hektar per tahun maupun biaya produksi yang rendah untuk setiap ton minyak.
Kedua minyak yang dihasilkan dari kelapa sawit, CPO dan CPKO, mewakili bagian produksi minyak
nabati utama dunia yang terus bertumbuh. Tabel 1 menjabarkan komposisi minyak nabati dan lemak
hewani produksi dunia sejak tahun 2004 hingga 2013, beserta CAGR terkait selama periode sepuluh
tahun terakhir.
CAGR CPO pada periode ini adalah 6,8%, sementara CAGR CPKO adalah 6,3%. Figur CPKO yang lebih rendah merupakan indikasi pertumbuhan PK yang lebih lambat dibandingkan CPO, yang merupakan konsekuensi penanaman kelapa sawit yang secara bertahap bergeser menuju penggunaan tanaman dengan kandungan PK yang lebih rendah.
Faktor khusus yang menguntungkan kelapa sawit sebagai sumber minyak adalah hasilnya yang
sebagian besar terdiri dari minyak dibandingkan tepung pada saat permintaan dunia akan minyak nabati bertumbuh jauh lebih cepat dibandingkan permintaan akan tepung. Sementara permintaan global untuk semua jenis minyak memiliki CAGR 4,7% pada tahun 2004-2013, CAGR untuk tepung biji minyak hanya 3,5%.
Pengolahan TBS secara kasar menghasilkan sekitar 88% minyak (dalam bentuk CPO dan CPKO) dan
12% dalam bentuk tepung (sebagai PKM). Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa TBS di seluruh dunia
umumnya memiliki OER sebesar 20% dan KER sebesar 5%; PK menghasilkan 55% PKM dan 45%
PKO. Sementara untuk kedelai, sumber minyak nabati terpenting kedua di pasar dunia, rasio minyak
terhadap tepung dalam produksi setelah pengolahan adalah 19%-81%. Untuk biji sesawi dan bunga
matahari, yang secara berturut-turut merupakan sumber minyak nabati terbesar ketiga dan keempat,
rasio minyak-tepung adalah sekitar 40%-60%. Pertumbuhan permintaan dunia yang condong ke arah
minyak dibandingkan tepung menjadikan kelapa sawit secara khusus sebagai sumber minyak yang
menarik.
Kenaikan pangsa CPO di pasar minyak didukung oleh keunggulan harga dibandingkan minyak lainnya, yang menjadikan CPO pengganti yang menarik bagi minyak lain dalam penggunaan pangan (terutama untuk menggoreng dan memanggang) dan penggunaan non-pangan (terutama bahan bakar hayati dan oleokimia). Keunggulan harga tersebut merupakan faktor yang sangat penting untuk mencapai kemajuan pesat di pasar Tiongkok dan India.
Total produksi minyak kedelai sangat mendekati CPO pada tahun 2004, tetapi pada tahun 2013 produksi minyak kedelai hanya sebesar 73% dari tingkat produksi CPO dunia, dengan CAGR selama periode antara sebesar 3,3%. Minyak biji sesawi (juga dikenal sebagai minyak canola), mencatat CAGR kedua tertinggi sebesar 6,1%, yang didukung oleh penggunaannya sebagai bahan baku biodiesel pilihan di Uni Eropa. CAGR produksi minyak bunga matahari adalah 4,7%. Produksi minyak nabati dunia secara keseluruhan hampir mencapai 163 juta ton pada tahun 2012 dan 2013. CAGR selama periode dari tahun 2004 hingga 2013 adalah 4,7%.
Dalam produksi minyak nabati dunia, pangsa gabungan dari kedua minyak yang dihasilkan dari TBS,
yaitu CPO dan CPKO, meningkat dalam delapan dari sembilan tahun antara tahun 2004 dan 2013.
Dari total pangsa gabungan sebesar 32,1% pada tahun 2004, kedua minyak tersebut telah mencapai
pangsa sebesar 38,0% pada tahun 2013.
Lemak dan pelumas hewani merupakan sektor yang lambat berkembang dalam penawaran minyak dan lemak dunia, dengan CAGR sebesar 0,9% dalam periode 2004-2013. Apabila diperhitungkan dalam total keseluruhan, produksi minyak dan lemak dunia mencapai lebih dari 181 juta ton, baik di tahun 2012 maupun 2013, dan telah meningkat dengan CAGR sebesar 4,3% sejak tahun 2004. Total pangsa gabungan CPO dan CPKO terhadap produksi keseluruhan meningkat dari 27,7% pada tahun 2004 menjadi 34,1% pada tahun 2013.
Minyak dan lemak yang berbeda-beda tersebut saling menggantikan satu sama lain dalam berbagai
kegunaan akhir. Untuk keperluan memasak rumah tangga di iklim panas, olein sawit RBD bersaing
secara langsung dengan minyak kedelai, canola dan bunga matahari. Di iklim yang lebih dingin, olein
sawit RBD yang memiliki temperatur lebur relatif lebih tinggi merupakan pesaing tiga minyak nabati
tersebut dalam pasar utama sebagai berikut: industri pangan, katering dan penggunaan non-pangan,
seperti oleokimia, biodiesel dan pakan ternak.
Produk sawit RBD menarik bagi konsumen di iklim yang lebih dingin, karena secara kimiawi produkproduk tersebut lebih stabil dibandingkan minyak nabati utama lainnya, yang membutuhkan hidrogenasi parsial agar tetap stabil dari waktu ke waktu. Tetapi proses hidrogenasi tersebut menghasilkan lemaktrans, yang menghadapi pembatasan hukum lebih ketat dari pemerintah yang mengkhawatirkan akibat buruk konsumsi lemak-trans terhadap kesehatan.
Berbeda dengan minyak sawit, tanaman benih minyak tahunan seperti sesawi dan kedelai ditanam
ulang setiap tahun dan dipanen selama periode tertentu yang singkat dalam tahun berjalan. Akibatnya, sejumlah besar tonase harus disimpan, dan pengolahan benih minyak tahunan terjadi lama setelah panen dan dilakukan di lokasi yang terletak berkilo-kilometer jauhnya. Hal ini mungkin dilakukan karena benih minyak tahunan lambat membusuk.
Tandan buah segar (TBS) kelapa sawit memiliki satu perbedaan struktural penting dengan biji minyak tahunan. TBS dipanen sepanjang tahun dan buah segar dalam tandan harus diolah dalam 24 jam setelah dipanen untuk meminimalkan kandungan asam lemak bebas (free fatty acid, “FFA”) dalam CPO. Kandungan asam lemak bebas yang tinggi mengurangi kualitas dan kuantitas hasil minyak sawit olahan.
B. PRODUKSI
Pertumbuhan pesat penanaman kelapa sawit menggerakkan laju ekpansi produksi CPO dan PKO
dunia yang pesat. Laju pertumbuhan tahunan majemuk (CAGR) produksi CPO dunia mencapai 6,8%
selama 2004 sampai 2013. Indonesia memimpin dengan pertumbuhan sebesar 9,8%. Dalam dekade
terakhir Malaysia mengalami pertumbuhan yang lebih lambat sebesar 3,4% per tahun dalam periode
yang sama. Hal ini disebabkan lahan yang sesuai untuk perkebunan kelapa sawit semakin langka.
Produksi PKO mencerminkan perjalanan CPO yang telah bertumbuh sebesar 6,3% secara global,
dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun yang mencapai 9,4% untuk Indonesia dan 3,4% untuk Malaysia dalam dekade terakhir.
C. KONSUMSI
Pada tahun 2013, permintaan CPO dunia mencapai 55,6 juta ton (Tabel 4). Uni Eropa, Tiongkok, India dan Indonesia masing-masing mengonsumsi lebih dari 10% pasokan minyak sawit dunia pada tahun 2013. Indonesia nyaris mengalahkan India sebagai konsumen terbesar, terutama disebabkan oleh produksi biodiesel dan oleokimia lokal, yang sebagian besar akhirnya diekspor. Pertumbuhan permintaan Tiongkok melambat setelah 2006, karena impor kedelai untuk dilumatkan (sebagai pengganti impor minyak nabati secara langsung) menyumbang sebagian besar pertumbuhan permintaan minyak nabati secara total, tetapi penggunaan minyak sawit meningkat kembali pada tahun 2013.
Minyak sawit digunakan secara luas di bidang pangan untuk menggoreng, memanggang dan sebagai
lemak penganan manis. Penggunaan minyak sawit untuk biodiesel mulai mencuat sejak tahun 2000
dan saat ini mewakili 15% permintaan minyak sawit dunia dan pangsa tersebut siap meningkat seiring dengan mandat penggunaan biodiesel. Di antara negara-negara produsen kelapa sawit, Indonesia sedang dalam proses menerapkan mandat B10 (yang berarti bahan bakar transportasi diesel akan mengandung 10% biodiesel); Malaysia tengah bergerak menuju mandat B5 secara nasional, dan akan meningkat menjadi B7 pada tahun 2015. Kolombia menerapkan mandat B10 dan Thailand menerapkan mandat B7.
Semua negara tersebut menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku produksi biodiesel mereka. Di Uni Eropa, pasar terbesar biodiesel dunia, mandat biodiesel sebagian dipenuhi melalui penggunaan biodiesel sawit. Kuantitas mandat tersebut meningkat bukan hanya seiring dengan peningkatan permintaan akan bahan bakar diesel, tetapi juga porsi biodiesel dalam bahan bakar diesel yang semakin tinggi. Dalam segmen oleokimia dan sabun, asam lemak dan alkohol lemak, yang digunakan dalam deterjen dan produk perawatan pribadi, dan juga sabun, menyerap 9% pasokan CPO dunia dan 65% pasokan PKO, dengan CAGR sebesar 5-6% untuk penggunaan akhir tersebut sejak 2004. Penggunaan sebagai pakan ternak menyerap kurang dari satu juta ton produk minyak sawit.
Sebagian besar minyak sawit dikonsumsi dalam bentuk terolah. Di Malaysia dan Indonesia, beberapa
jenis CPO dikonsumi secara langsung tanpa melewati proses penyulingan, contohnya dalam
penggunaan bahan bakar hayati. Tetapi pada umumnya CPO diolah di pabrik pengolahan non-pangan
sebelum digunakan dalam pembuatan produk non-pangan.
PKO memiliki ketergantungan yang lebih besar terhadap penggunaan oleokimia dibandingkan CPO.
PKO digunakan untuk menghasilkan asam lemak dan alkohol lemak untuk diolah menjadi deterjen dan produk perawatan pribadi, tetapi juga digunakan sebagai bahan baku makanan dalam produk-produk seperti es krim, coklat dan margarin.
Permintaan akan PKO cukup besar di beberapa negara (Tabel 5), tetapi terkonsentrasi di Asia Tenggara, yang saat ini mewakili lebih dari 50% konsumsi global akibat pengembangan kapasitas oleokimia lokal yang substansial. Pertumbuhan permintaan dunia akan kedua minyak hasil kelapa sawit tersebut tinggi: laju pertumbuhan tahunan rata-rata seluruh dunia adalah 6,8% untuk CPO dan 6,3% untuk PKO dalam periode antara tahun 2004 sampai 2013.
Permintaan akan minyak sawit yang semakin tinggi mencerminkan pertumbuhan populasi, yaitu
meningkatnya pertumbuhan populasi urban, yang tidak menanam makanan yang mereka konsumsi,
melainkan membelinya; ditambah pertumbuhan ekonomi yang pesat di negara-negara seperti Tiongkok dan India. Di samping peningkatan konsumsi pangan, permintaan akan minyak dalam oleokimia, yang dipimpin oleh penggunaan deterjen cair yang semakin meningkat ditambah permintaan akan kelapa sawit untuk sebagai bahan baku bahan bakar hayati yang terus bertumbuh, telah dan akan terus mendorong pertumbuhan konsumsi minyak sawit di masa mendatang.
Pertumbuhan permintaan PKO dan minyak sawit yang pesat di Indonesia mencerminkan kekuatan
pengolahan industri hilir, terutama untuk oleokimia dan biodiesel, yang mengekspor sebagian besar
kuantitas produk akhir yang dihasilkan. Minyak sawit yang diolah di Indonesia diklasifikasikan sebagai konsumsi domestik, tetapi pada kenyataannya permintaan akhir secara tidak langsung ditimbulkan oleh pasar ekspor.
D. PERDAGANGAN
1. Ekspor
Hampir 80% dari produksi CPO dan 50% produksi PKO global diekspor ke luar negeri. Sebagian
besar produk yang diekspor tersebut adalah minyak olahan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan
pemerintah Indonesia dan Malaysia yang menerapkan pajak ekspor yang lebih tinggi atas CPO dan
CPKO dibandingkan produk-produk hilir, termasuk minyak olahan, guna mendorong perkembangan
penyulingan domestik.
Minyak sawit mendominasi ekspor minyak nabati dunia (Tabel 6). Dominasi ini terjadi akibat beberapa faktor, yaitu: permintaan minyak Asia Tenggara hanya mampu menyerap sebagian kecil pasokan dunia, dan apabila biji minyak tahunan diperdagangkan untuk diolah di luar negara asal produksi maka negara pengimpor tersebut akan dicatat sebagai negara penghasil minyak nabati tersebut. Sebagai contoh, Tiongkok saat ini mengimpor kedelai yang akan diolah secara lokal dalam jumlah yang setara dengan 13 juta ton minyak kedelai, akan tetapi dalam perhitungan statistik produksi, minyak tersebut diklasifikasikan sebagai minyak kedelai produksi Tiongkok.
Indonesia adalah eksportir minyak sawit dan minyak inti sawit terbesar. Dalam hal minyak sawit
(gabungan antara ekspor minyak mentah dan olahan), sumbangan Indonesia bagi volume ekspor
dunia bertahan cukup stabil. Ekspor minyak sawit dunia mencapai 43,4 juta ton pada tahun 2013, dan
Indonesia mewakili 21,1 juta ton; 49% dari total ekspor minyak sawit dunia.
Malaysia mengekspor 18,1 juta ton minyak sawit pada tahun 2013, yang merupakan 42% dari total
ekspor minyak sawit dunia.
Pola ini berlawanan dengan tren sumbangan Indonesia bagi ekspor PKO dunia. Porsi ekspor
Indonesia mulai menurun sejak tahun 2010 akibat peningkatan pengolahan lokal yang disebabkan
oleh pertumbuhan sektor oleokimia domestik. Total ekspor PKO adalah sekitar 2,7 juta
ton pada tahun 2013. Dari jumlah tersebut, Indonesia menyumbang 1,5 juta ton sementara Malaysia
menyumbang 0,9 juta ton.
2. Impor
Tiongkok, India dan Uni Eropa merupakan pasar impor minyak sawit terbesar. Gabungan ketiga negara tersebut menyumbangkan lebih dari separuh total impor minyak sawit pada tahun 2013.
Di India, minyak sawit digunakan untuk memproduksi serangkaian luas produk-produk seperti shortening dan vanaspati (minyak samin nabati) dan digunakan secara luas sebagai minyak goreng.
Demikian juga halnya di Tiongkok, minyak sawit digunakan sebagai minyak goreng dan minyak makan. Minyak sawit digunakan dalam produksi mi instan. Di Tiongkok, minyak sawit umumnya dicampur dengan minyak nabati lainnya untuk penggunaan eceran. Minyak campuran tersebut menyumbang lebih dari sepertiga konsumsi minyak pangan Tiongkok. Iklim Tiongkok Selatan yang lebih hangat mencegah olein sawit mengeras, karena itu minyak sawit digunakan secara ekstensif dalam campuran ini. Dalam hal importir sawit ketiga terbesar, yaitu Uni Eropa, terjadi gambaran yang sedikit berbeda dibandingkan Tiongkok dan India. Sementara permintaan sawit untuk kegunaan pangan tetap statis sejak tahun 2005, penggunan kelapa sawit untuk keperluan industri, untuk produksi biodiesel dan pembakaran secara langsung, telah mendukung pertumbuhan permintaan.
Tabel 8 dan Diagram 4 menunjukkan bahwa Uni Eropa merupakan importir minyak inti sawit terbesar, yang menggunakan minyak sawit untuk mengolah berbagai turunan oleokimia dan produk pangan nonsusu. Uni Eropa diikuti oleh Tiongkok dan India, yang meningkatkan nilai impor mereka terhadap total impor selama dekade terakhir.
E. PROSPEK INDONESIA DAN MALAYSIA
1. Produksi
Kami memperkirakan produksi CPO dunia akan mencapai 73,9 juta ton pada tahun 2018. Selama
periode dari tahun 2014 hingga 2018, tren laju pertumbuhan tahunan Indonesia akan mencapai 7,6%,
sementara Malaysia mencapai 4,0%, dan laju pertumbuhan dunia akan mencapai 5,8%. Produksi
CPKO akan bertumbuh sedikit lebih lambat dibandingkan produksi CPO, karena kandungan inti sawit dalam TBS menurun secara bertahap. Rata-rata laju pertumbuhan tahunan CPKO dunia dari tahun 2014 hingga 2018 diproyeksikan akan mencapai 5,3%.
Indonesia dan Malaysia akan menggabungkan peranan mereka sebagai produsen utama kedua produk
sawit tersebut.
2. Area dan Penanaman Kelapa Sawit
Penanaman kelapa sawit berkaitan erat dengan pergerakan harga CPO dunia. Diagram 5 membandingkan fluktuasi penjualan tahunan kecambah kelapa sawit yang digunakan untuk penanaman dengan fluktuasi harga CPO domestik Indonesia.
Dengan mempertimbangkan waktu tunda yang memakan beberapa tahun antara waktu tanam dengan
puncak produksi, dampak tingkat penanaman yang tinggi saat ini terhadap produksi CPO dan PKO baru akan sepenuhnya dirasakan pada tahun-tahun mendatang.
Profil usia perkebunan Indonesia yang terus bertumbuh pada akhirnya akan mendorong rata-rata
tingkat hasil, menghasilkan prakiraan sebagaimana dijabarkan dalam Tabel 11. Tingkat hasil Malaysia akan tetap lebih tinggi dibandingkan Indonesia, akibat penanaman kembali perkebunan-perkebunan lama. Akan tetapi, tingkat hasil Indonesia akan dipengaruhi oleh dua tren yang saling berlawanan: peningkatan penanaman bibit dengan tingkat hasil yang lebih tinggi; dan area belum menghasilkan, dan area baru menghasilkan yang baru ditanam, yang tahun-tahun awal produksinya ditandai dengan tingkat hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan tingkat hasil yang akan dicapai di tahun-tahun mendatang saat area tersebut mencapai kematangan penuh.
Gabungan dari total area menghasilkan kelapa sawit di kedua negara tersebut diperkirakan akan
mencapai 16,6 juta hektar pada tahun 2018, yang dipimpin oleh Indonesia dengan area perkebunan
kelapa sawit yang diperkirakan akan mencapai sedikit lebih dari dua kali lipat luas area perkebunan
kelapa sawit Malaysia pada saat itu.
Meskipun kedua negara mengekspor minyak sawit dalam jumlah besar, secara tradisional Malaysia
merupakan eksportir terbesar untuk produk-produk hilir. Akan tetapi, pada tahun 2011, Indonesia
mengalahkan Malaysia dan menjadi produsen minyak olahan terbesar, menyusul sokongan dari
reformasi sistem pajak ekspor, yang memotong sekitar 50% pajak ekspor atas minyak olahan, tetapi
mempertahankan pajak ekspor atas CPO dan CPKO pada tingkat yang relatif tetap.
Kami memperkirakan sektor hilir Indonesia akan terus berkembang untuk mengimbangi permintaan
impor Asia yang berkembang pesat, dipimpin oleh Tiongkok dan India.
F. STRUKTUR INDUSTRI DAN PEMAIN UTAMA
Struktur perkebunan kelapa sawit pada umumnya terdiri dari area pusat luas yang dikelola perusahaan perkebunan, dikelilingi oleh petani independen yang lebih kecil. Perkebunan utama, dikenal sebagai perkebunan nukleus di Malaysia atau perkebunan inti di Indonesia, menanamkan investasi untuk membangun PKS. Pemilik perkebunan rakyat, termasuk perkebunan plasma di Indonesia, menjual produk mereka ke PKS independen atau PKS milik perkebunan inti.
Grup perkebunan berskala medium dan besar (mayoritas merupakan milik swasta, tetapi juga
mencakup perusahaan perkebunan terdiversifikasi milik Pemerintah di Indonesia, yang didirikan
melalui nasionalisasi perkebunan milik asing) menguasai 60% dari total area tertanam, baik di Malaysia maupun Indonesia. 13,4% dari total area kelapa sawit Malaysia dimiliki oleh pemilik yang sepenuhnya independen, jumlah tersebut dua kali lipat lebih besar dibandingkan bagian yang dikelola melalui skema pemukim pemerintah dan lembaga pemerintah.
Di Indonesia, kepemilikan lahan kelapa sawit dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori: perkebunan
rakyat, PTPN (Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara, perkebunan milik Pemerintah); dan
perkebunan swasta. Perkebunan rakyat pada gilirannya terdiri dari tiga kategori yang berbeda: petani
independen, plasma independen dan plasma kelolaan. Berdasarkan undang-undang perkebunan
Indonesia, setiap perusahaan yang mengembangkan perkebunan baru diharuskan menyediakan
proporsi tertentu untuk dimiliki oleh perkebunan rakyat setempat (pada umumnya sekurang-kurangnya 20% dari area perkebunan perusahaan, tetapi hal ini tergantung pada peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah lokal, yaitu bupati). Bentuk kontrak dengan perkebunan rakyat tersebut dikenal secara umum sebagai plasma.
Plasma independen, mengacu kepada lahan yang akan dialihkan kepada pemilik perkebunan rakyat
pada saat perkebunan telah berkembang. Sementara itu, pemilik perkebunan rakyat mengelola lahan
tersebut di bawah pengawasan umum pengembang, dengan otonomi yang cukup besar bagi pemilik
perkebunan rakyat tersebut selaku produsen. Berdasarkan Program Plasma, pemilik perkebunan
rakyat diwajibkan menjual, dan pengembang berkomitmen untuk membeli, TBS pada tingkat harga
berdasarkan rumusan yang ditentukan oleh pemerintah Indonesia. Rumusan harga tersebut
mencerminkan biaya penggilingan, setelah dikurangi penggantian biaya yang dikeluarkan pengembang untuk mengembangkan lahan tersebut.
Plasma kelolaan, berdasarkan sistem ini, pemilik perkebunan rakyat mengikatkan diri dalam perjanjian dengan pengembang dan pengembang sepakat untuk mengelola lahan milik perkebunan rakyat tersebut, dan pemilik perkebunan mendapatkan kredit plasma, yang dapat diperoleh dari bank swasta atau milik Pemerintah. Berdasarkan program ini (dikenal sebagai KKPA, Koperasi Kepemilikan Perkebunan untuk Anggota), harga yang disetujui untuk mengembangkan perkebunan ditetapkan dalam perjanjian antara pengembang dan pemilik perkebunan rakyat. Pengembang menanggung beban setiap kelebihan biaya yang timbul dalam pengembangan perkebunan. Setelah pinjaman dilunasi, pengembang, yaitu perusahaan perkebunan, tidak lagi mengelola perkebunan tersebut, tetapi mempertahankan hubungan baik dengan pemilik lahan kecil untuk mengawasi perkebunan tersebut secara berkala. Ketentuanketentuan tersebut dinegosiasikan sesuai kebutuhan.
1. Pemain Utama
14% dari total area kelapa sawit Indonesia dimiliki oleh lima grup perkebunan tercatat terbesar, masingmasing grup terintegrasi secara vertikal dengan fasilitas produksi antara dan hilir. Di antara grup tersebut, PT Astra Agro Lestari Tbk merupakan grup yang paling tidak terintegrasi. PT Astra Agro Lestari Tbk hampir sepenuhnya merupakan produsen minyak sawit hulu murni dan baru mulai berkonsentrasi pada perkebunan dan penggilingan belakangan ini.
Area terbesar dimiliki oleh Golden Agri-Resources Ltd, yang memiliki 0,46 juta hektar area tertanam
pada akhir tahun 2013. PT Astra Agro Lestari Tbk ( AALI.JK ) memiliki 0,27 juta hektar, PT Salim Ivomas Pratama Tbk ( SIMP.JK ) memiliki 0,23 juta hektar dan area terbesar berikutnya dimiliki oleh Wilmar International, yang juga memiliki 0,23 juta hektar (angka ini mencakup beberapa area yang terletak di Malaysia). Anak perusahaan Sime Darby Berhad di Indonesia, Minamas Plantation, memiliki 0,2 juta hektar lahan kelapa sawit.
Di Malaysia, hampir 20% dari total area perkebunan sawit dimiliki oleh empat grup perkebunan terbesar: Felda Global Ventures Holdings Bhd , Sime Darby Bhd, Kuala Lumpur Kepong Bhd dan IOI Corporation Bhd. Grup-grup tersebut terintegrasi secara vertikal, dengan 0,86 juta area menghasilkan (khusus untuk Kuala Lumpur Kepong Bhd, angka ini termasuk area miliknya di Indonesia yang tidak dibedakan dalam dokumen publik).
2. Area kelapa sawit Indonesia berdasarkan wilayah
Diagram 6 mengilustrasikan pertumbuhan area tertanam kelapa sawit di Indonesia sejak tahun 2000
hingga 2013, dari lima wilayah produksi utama: Sumatera Utara (terdiri dari Sumatera Utara dan
Aceh), Sumatera Tengah (terdiri dari Jambi, Riau dan Sumatera Barat), Sumatera Selatan (terdiri dari
Bangka/Belitung, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Lampung), Kalimantan (termasuk kelima provinsi, yaitu Tengah, Timur, Utara, Barat dan Selatan), dan Provinsi Lain-lain (kategori ini terutama terdiri dari Sulawesi, Papua dan Jawa dalam segi penanaman kelapa sawit).
Sumatera mencatat bagian terbesar, yaitu 63% dari total area kelapa sawit Indonesia pada tahun 2013,
tetapi Kalimantan mulai menyusul dan pada tahun 2013 mewakili lebih dari 34% dari total area kelapa sawit.
Mengingat lahan yang cocok semakin langka di Sumatera, Kalimantan menjadi wilayah tujuan ekspansi baru. Perkebunan di wilayah Kalimantan meningkat hampir empat kali lipat dari segi luas lahan selama tahun 2000 hingga 2013. Kalimantan menyumbang kenaikan mencolok sebesar 47% dari total kenaikan, jauh melewati 23% porsi kenaikan yang disumbangkan Sumatera Tengah, sementara hanya 4% berasal dari provinsi “Lainnya”, yang mecakup Papua.
Demikianlah sekelumit ulasan mengenai prospek Sektor Kelapa Sawit.
Mundah mudahan dapat bermanfaat bagi para pembaca.
saham . bursajske
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.